PORTAL-KOMANDO.COM,.-Dandim 0506/Tgr Letkol Inf Archirudin menjadi pembicara dalam Dialog
Kebangsaan antar Umat Beragama dengan Tema " Nasionalisme dan Kajian
Transformasi Kehidupan Beragama Indonesia dalam Bingkai Kebhinekaan "
yang diselenggarakan oleh BEM UNIS Tangerang bertempat Auditorium UNIS
Tangerang alamat Jl. Maulana Yusuf No.1 Kel.Babakan Kec.Tangerang Kota
Tangerang. Senin ( 7/12).
Dalam penyampaian materinya Dandim 0506/Tgr Letkol Inf Archirudin antara lain :
Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah dan
santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di
mata dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka
dan plural. Indonesia terdiri dari beberapa suku, etnis, bahasa dan
agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi kemerdekaan
Republik Indonesia kita.
Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai
dipertanyakan oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana
yang bernuansa Agama. Ketika bicara peristiwa yang terjadi di Indonesia
hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam.
Masyarakat muslim di Indonesia memang
terdapat beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang
diperbuat oleh umat Islam menurut sebagian umat non muslim mereka
seakan-seakan merefresentasikan umat muslim.
Dalam “Analisis dan
Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.) misalnya,
mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah,
hanya pada bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama.
Hal ini didasarkan pada postulat bahwa homogenitas agama merupakan
kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang berlawanan
bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke
arena politik, maka pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari
kompromi.
Pluralitas bangsa kita telah disadari benar-benar oleh
para pendiri Negara Republik Indonesia betapa pentinya menetapkan
pendirian tentang hubungan antara agama, umat beragama dan negara.
Bahwa
negara yang hendak dibentuk adalah bukan negara agama dan bukan anti
agama, tetapi negara kita adalah Negara yang nitral terhadap agama-agama
dan menganggap penting keterlibatan agama-agama dalam meraih
kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan.
Seluruh pemeluk agama yang ada di
Indonesia terlibat dalam merebut kemerdekaan secara proporsional tentu
dalam mengisi kemerdekaan pun semuanya berhak berdasarkan
profesionalisme dan proporsional.
Lima sila Pancasila dapat kita
pandang sebagai rumusan terintegrasi antara jiwa religiositas yang
dikandung agama-agama dengan wawasan kebangsaan. Misalnya pada sila
pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa, memastikan bahwa bangsa kita adalah
umat beragama bukan sekuler, dan Negara kita juga bukan negara
berdasarkan agama, tetapi masayarakat beragama dapat menafsirkannya sila
pertama itu sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Negara kita
menempatkan diri sebagai fasilitator terhadap umat beragama dan sebagai
pemersatu.
Meskipun Indonesia kaya secara filosofis dan peraturan
tentang bagaimana membangun kerukunan umat beragama, kita perlu
menyimak apa yang disampaikan oleh Profesor Dr. Muhammad Nur Manuty
bahwa interaksi antara masyarakat Islamdan non Islam perlu diberikan
perhatian lebih serius, mengingat demografi penduduk dunia akan terus
berubah. Hal itu menjadi bertambah penting dalam konteks masyarakat yang
majemuk (Kompas, 27/8/1996).
Perubahan demografi adalah niscaya, karena
dia adalah alam yang akan berubah, cepat atau lambat. Namun pendapat
ini perlu dirumuskan: Perhatian serius itu bagaimana? Apakah dibentuk
forum, lembaga atau apalah namanya.
Dalam beberapa tahap dan
kesempatan masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk
banyak kita temukan upaya masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan
antar masyarakat. Lahirnya lembaga-lembaga kehidupan sosial budaya
seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang”
di Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan
bukti-bukti kerukunan umat beragama dalam masyarakat.
Ke depan,
guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia yang
saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan
dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang
dilandasi dialog untuk mencapai saling pengertian, pengakuan akan
eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap
dasar manusia yang menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada
kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang bukan sebagai benda
mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya.
Suatu sifat dalam dialog, di mana seseorang melihat
lawan dialognya dengan hati lapang dan penuh pernghargaan (‘ain al
ridla), bukan sebaliknya, melihat lawan dialognya sebagai musuh dan
penuh kebencian (‘ain al sukhth). Sikap dasar moral harus tetap
dipertahankan dalam hubungan dialog horizontal. Oleh karena itu tidak
seharusnya manafikan eksistensi orang lain.
Sering terjadi dialog
yang hanya bersifat semu, karena tidak mengakui eksistensi dan sifat
dasar manusia itu. Manurut Martin Buber, eksistensi manusia pada
dasarnya sama. Kesamaannya terdapat pada proses dialektisnya yang selalu
mendambakan kesempurnaan eksistensi. Ia senantia berproses menuju
pengakuan bahwa dirinya adalah eksistensi. Yang dimaksud eksistensi
adalah ada manusia yang diliputi oleh rasa kemanusiaan, rasa budaya,
rasa progresif, dan sebagainya.
Dialog vertical berarti pemahaman
dan pengkhayatan akan fungsi dan makna keagamaan secara mendalam bukan
fanatisme buta dalam beragama karena kebodohannya. Dalam konteks
kemasyarakatan kita, banyak yang mempertentangkan suatu agama dengan
agama lain, bahkan antar sesama pemeluk agama tertentu. Namun serta
merta para tokoh agama mengingatkan betapa pentingnya penghayatan
keagamaan dan untuk memperluas cakrawala dialog vertical.
Unsur
penting dalam dialog vertikal adalah mempedulikan materi keagamaan
secara intern. Artinya, kita mesti terus berlajar mendalami secara
objektif makna agama kita. Pada posisi puncak sebenarnya adalah
pengejewantahan diri kita untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian kepada
Tuhan inilah yang disebut dengan dialog vertical. Oleh karena itu, umat
beragama tidak layak mempertentangkan dan menghancurkan entitas orang
lain dengan mengatasnamakan agama.
Islam menggariskan ajarannya
kepada domain qath’iy(pasti) dan dzanny (tidak pasti). Dua domain inilah
yang menjadi pijakan umat Islam dalam memahami agamanya. Domain qoth’iy
adalah sesuatu yang pasti dan tidak bisa ditawar untuk ditakwil.
Artinya, ruang ijtihad dan kreatifitas berpikir bagi umat muslim untuk
mengambil makna tersirat telah ditutup. Sebaliknya domain dzanny, umat
Islam diperintah untuk mengembangkan ijtihad dan kreatifitas berpikirnya
guna menemukan makna tersirat dalam ajaran agama demi memenuhi tuntutan
perubahan zaman dan demografi.
Berdasarkan domain qath’iy dan
dzanny umat beragama perlu menyikapi umat beragama selain Islam dengan
tegas dalam kontek umat beragama dan bijak dalam kontek kebangsaan.
Tegas artinya menyampaikan perbedaan keyakinaan dan keagamaan antara
umat beragama, agamamu adalah agamamu dan agamaku adalah agamaku. Tegas
artinya harus mempertimbangkan asas kebangsaan, kemanusiaan, dan
persaudaraan sebangsa dan se tanah air dalam rangka mengisi kemerdekaan.
Semoga kita selalu mampu menjaga persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah
basyariyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwahwathaniyah) dan
persaudaraan seiman (ukhuwah diniyah).

Posting Komentar