PORTAL-KOMANDO.COM,.(31/1),.JAKARTA,-
Peran saksi atau pelapor cukup penting dalam membantu aparat penegak
hukum mengungkap tindak pidana. Apalagi, sampai saat ini keterangan
saksi masih menjadi salah satu alat bukti sah di persidangan. Meski
demikian, saksi harus mampu memberikan kesaksian dengan itikad baik,
apalagi sebelumnya yang bersangkutan telah disumpah.
Ketua
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai
mengatakan, melaporkan suatu tindak pidana merupakan kewajiban bagi
setiap warga negara, seperti diatur Pasal 165 KUHP. Bahkan, bagi mereka
yang mengetahui adanya suatu tindak pidana tetapi tidak melaporkannya
kepada penegak hukum, dapat diproses secara hukum.
"Melaksanakan
kewajiban itu tidaklah mudah. Pada praktiknya, pada saat saksi dan/atau
pelapor itu melaporkan suatu tindak pidana, yang bersangkutan
berpotensi dilaporkan balik. LPSK pernah mencatat dan menangani beberapa
kasus, dimana saksi dan/atau pelapor dilaporkan balik oleh tersangka,
khususnya kasus korupsi,” kata dia di Jakarta, Selasa (31/1).
Semendawai
mencontohkan kondisi beberapa waktu terakhir, khususnya setelah
berjalannya persidangan kasus penistaan agama dengan terdakwa Gubernur
DKI Jakarta nonaktif, banyak pihak saling melapor ke polisi. Kondisi
dimana antarpihak saling melapor, di satu sisi tentu menimbulkan
keresahan dan kebingungan di masyarakat.
Dia
khawatir ke depan akan banyak masyarakat yang merasa takut melaporkan
suatu tindak pidana, apalagi menjadi saksi di persidangan karena
berpotensi diancam hingga dilaporkan balik. Untuk itulah, LPSK merasa
perlu menghadirkan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya posisi
saksi dan/atau pelapor dalam pengungkapan suatu tindak pidana.
Situasi
dimana terjadinya ancaman terhadap keamanan dan. kenyamanan saksi
dan/atau pelapor dalam mengungkap suatu tindak pidana, kata Semendawai,
tentu tidak bisa dibiarkan. Sudah seharusnya ada upaya untuk
meminimalisir pelaporan balik atau ancaman bagi saksi dan/atau pelapor
akibat dari kesaksian yang diberikannya.
Namun
menurut Semendawai, poin yang harus digarisbawahi yaitu, saksi dan/atau
pelapor juga memiliki batasan atau rambu-rambu yang harus dipatuhi agar
perlindungan bagi mereka bisa maksimal. ”Sesuai Pasal 10 UU
Perlindungan Saksi dan Korban, disebutkan, saksi dan/atau pelapor tidak
dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas
kesaksiannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak
dengan itikad baik,” ungkap dia.
Maksud
dari kesaksian yang tidak diberikan dengan ”itikad baik, jelas
Semendawai, saksi dan/atau pelapor itu memberikan keterangan palsu,
sumpah palsu dan permufakatan jahat. Karena kalau sampai kesaksian yang
diberikan palsu, selain dampaknya akan merugikan terdakwa, hal itu juga
akan merusak tatanan sistem penegakan hukum.
Karena
bisa jadi, orang yang tadinya tidak bersalah, atas kesaksian itu
menjadi menjadi bersalah. Kondisi demikian juga melanggar hukum dan
melanggar hak asasi manusia (H * M). ”Proses penegakan hukum harus
memerhatikan beberapa aspek, seperti prosedural. Prosedural penting
dalam penegakan hukum, karena dalam mengejar substansi hukum, tidak bisa dilakukan tanpa sesuai procedural,” pungkasnya. @AD
Posting Komentar